Kamis, 19 Juni 2008

ekonomi Neo liberal di Indonesia


Pendahuluan

Pernahkah kita membayangkan, 3 orang terkaya di dunia, kekayaannya lebih besar dari gross domestic product (GDP) 48 negara termiskin dunia, yang berarti setara dengan seperempat jumlah total negara di dunia? Itulah hasil penelitian Brecher dan Smith. Tidak kalah hebatnya, menurut penelitian Noam Chomsky, 1% penduduk dengan pendapatan tertinggi dunia setara dengan 60% penduduk pendapatan terendah dunia, yaitu sama dengan 3 miliar manusia.1 Di Indonesia, Putera Sampoerna (58 tahun) baru saja menggegerkan dunia bisnis Indonesia karena telah menjual 40% sahamnya senilai US$ 2 miliar. Berarti, Bos PT HM Sampoerna Tbk. terse but akan menerima uang senilai Rp 18,6 triliun. Padahal Putra Sampoerna hanyalah orang nomor 387 dari 500 orang terkaya di dunia menurut majalah Forbes.2 Sementara itu, dengan ukuran konsumsi penduduk di bawah Rp 123 ribu perkapita perbulan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 2004 berjumlah 36,17 juta jiwa atau 16,7% dari total penduduk Indonesia (berdasarkan hasil Susenas BPS). Jika pada tahun 2005 ini garis kemiskinan dinaikkan menjadi Rp 140 ribu (akibat kenaikan BBM) perkapita perbulan, maka jumlah penduduk miskin Indonesia menjadi 40 juta jiwa (hasil analisis statistik BPS).3 Marilah kita renungkan, apa arti konsumsi Rp 140 ribu perbulan?Selanjutnya, apa arti dari semua angka-angka di atas? Jawabannya tidak lain adalah kesenjangan ekonomi. Hasil penelitian Robert Wade dari London School of Economics mengungkapkan bahwa indeks gini dunia (indeks yang menunjukkan tingkat kesenjangan) selama 1988-1993, mening kat 6 persen. Pendapatan 10%
penduduk dunia termiskin turun lebih dari seperempatnya, sedangkan populasi
penduduk 10 persen terkaya pendapatannya justru meningkat 8%. (Economist,
April 28, 2001).4


Kemunculan Ekonomi Neo-Liberalisme

Tahun 1776, ketika buku Adam Smith yang berjudul, The Wealth of Nations,
terbit, dunia menyambutnya dengan gegap-gempita. Dengan kekuatan
logika-logika ekonominya, Smith mampu meyakinkan dunia, bahwa tidak akan
lama lagi tatanan ekonomi yang berkeadilan, yang akan menyejahterakan
seluruh lapisan manusia, akan segera terwujud. Yang penting menurut Smith,
negara nggak usah repot; tidak perlu ikut campur tangan dalam urusan
ekonomi. Mekanisme pasar bebas akan dapat menyelesaikan semuanya.5

Sejarah telah mencatat, apa yang diomongkan Smith memang bukan pepesan
kosong. Ekonomi negara-negara Barat selama periode 150-an tahun telah
mencatat pertumbuhan ekonomi sangat pesat, yang juga di iringi dengan
tingkat harga-harga yang bergerak relatif stabil.6 Ekonomi model ini
kemudian dikenal dengan ekonomi liberalisme atau ekonomi kapitalisme.

Namun, resep Smith dan para penerusnya ternyata harus berakhir dengan
malapetaka besar. Tahun 1930-an ekonomi dunia mengalami depresi berat.
Pertumbuhan ekonomi mandeg total. Pengangguran merajalela di mana-mana.
Para pakar ekonomi ketika itu mengalami kebingungan yang luar biasa.
Bagaimana mungkin bencana itu bisa terjadi?

John Maynard Keynes tampil sebagai 'pembaharu ekonomi'. Dia mengupas habis
kelemahan-kelemahan teori Smith dan para pengikutnya. Kemudian dia
memberikan satu resep yang cukup bertentangan dengan dogma sebelumnya,
yaitu menyarankan agar negara turut campur secara langsung guna
menyelamatkan keterpurukan ekonomi. Resep Keynes untuk memperbaiki ekonomi
negara melalui kebijakan fiskalnya mulai menampakkan hasil. Akan tetapi,
kemanjuran resep Key nes juga tidak bertahan lama.7

Seiring dengan maraknya pendukung-pendukung Keynes, pasca Perang Dunia
Kedua, muncul kelompok yang idenya berseberangan dengan kelompok Keynes.
Kelompok ini dikenal masih setia dengan ide-ide klasiknya Adam Smith.
Mereka kemudian dijuluki sebagai kelompok 'Kanan Baru' atau biasa disebut
dengan 'Neo-Liberal'. Kelompok ini menyerang fondasi kebijakan Keynesian
dengan mengambil momentum krisis ekonomi akibat inflasi yang tidak dapat
diatasi oleh kebijakan Keynesian.8

Kaum neo-liberalis menyatakan, bahwa akibat terlalu banyaknya campur tangan
negara, dunia terjebak dalam krisis yang berkepanjangan pada tahun 1970-an.
Menurut mereka, peningkatan belanja publik Keynesian dianggap menciptakan
terlalu banyak demand (permintaan). Itulah yang menjadi penyebab timbulnya
inflasi yang semakin meluas.9

Di level kebijakan, neo-liberalisme mulai menunjukkan eksistensinya pada
tahun 1979. Perdana Menter i Inggris Margaret Thatcher merupakan tokoh
politik yang merevolusikan paham ini di Inggris. Untuk justifikasinya, ia
menyerukan, "There Is No Alernatif" (TINA). Di Amerika, arsitek utamanya
adalah Ronald Reagan.10 Paham ini kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Pada era pasca Reagan dan Thatcher, gagasan-gagasan neo-liberal mulai
merebak di lingkup lembaga-lembaga internasional. Melalui GATT/WTO, IMF dan
Bank Dunia, paham neo-liberal menjadi semakin dominan dalam usahanya
menciptakan liberalisasi perdagangan dan investasi di seluruh dunia.
Lembaga-lembaga ini menekankan arti pentingnya pasar bebas dunia dan
berusaha memarjinalkan peran negara dalam proses-proses ekonomi.11


Ekonomi Neo-Liberalisme di Indonesia

Jejak ekonomi neo-liberalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika
Indonesia mulai memasuki era Pemerintahan Orde Baru sejak Maret 1966.
Kebijakan Orba lebih berpihak pada Barat.

Dengan membaiknya p olitik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus
modal asing mulai masuk ke Indonesia; PMA dan utang luar negeri mulai
meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an, atas kerjasama dengan Bank Dunia,
Dana Moneter Internasional (IMF), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk
suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri
atas sejumlah negara industri maju untuk membiayai pembangunan di
Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya
dari Sosialisme ke arah semi Kapitalisme.12

Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an, sistem ekonomi di
Indonesia terus mengalami pergeseran. Kebijakan ekonomi Pemerintah banyak
dibawa ke arah libelarisasi ekonomi; baik libelarisasi sektor keuangan,
sektor industri, maupun sektor perdagangan.13

Pakto '88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan libelarisasi
ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang
selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi utang luar negeri
perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi
liberal Indonesia saat itu.14

Masa pembangunan ekonomi Orde Baru pun akhirnya berakhir. Puncak kegagalan
dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter,
yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.

Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan
perekonomian Indonesia semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang
telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi
ekonomi. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama,
yaitu:15

1. Dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dan
diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan
kesepakatan dalam LoI dengan pi hak IMF, artinya harus dikembalikan pada
mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada pihak swasta, baik
swasta nasional maupun asing.
4. Peran serta Pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan Perjanjian GATT,
yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam 'kubangan'
libelarisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.


Dampak yang Ditimbulkan

Dampak ekonomi neo-liberal bagi Indonesia setidaknya ada 3:

1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta.
Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas, Pemerintah Indonesia harus
melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi, yang ditandai
dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang
banyak (sektor kepemilikan umum)-baik dengan cara langsung maupun melalui
proses privatisasi BUMN-oleh swasta.

Sebagai contoh, di bidang kehutanan. Sejarah industri perkayuan berawal
dari pemberian Hak Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan keluarnya PP N0.
21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil
Hutan (HPHH). Dengan luas hutan tropis yang sangat menjanjikan pada waktu
itu, yaitu 143,7 juta hektar atau sekitar 76% luas daratan Indonesia,
Pemerintah berharap pemberian HPH tersebut dapat menopang pembangunan
Indonesia.16
Namun, apa yang terjadi? pada masa Orde Baru, menurut laporan Walhi yang
diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil eksploitasi hutan di Indonesia
setiap tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang masuk ke dalam
kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong
pengusaha HPH (Sembirin, 1994).

Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai
oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya.17

Memasuki masa Orde Reformasi, Indonesia tinggal menuai getahnya. Menurut
laporan Badan Planologi Departemen Kehutanan (laporan tah un 2003),
diperkirakan kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 101,79 juta hektar
dengan laju pertumbuhan kerusakan (deforestasi) sekitar 3,8 juta hektar
pertahun.18
Dari segi perusahaan pemegang HPH, sampai akhir tahun 2004, urutan pertama
dipegang oleh Barito Pasific dengan 39 HPH, luas total 3,536 juta hektar
masih dikuasai oleh Prajogo Pangestu; urutan selanjutnya, Kayu Lapis
Indonesia dengan 17 HPH, total luas 3,143 juta hektar, atas nama Andi
Susanto; Djajanti dengan 20 HPH, total luas 2,805 juta hektar atas nama
Burhan Uray; Alas Kusuma dengan 15 HPH, total luas 2,189 juta hektar atas
nama PO Suwandi; dan seterusnya.19

Dalam bidang perminyakan, pada zaman Orde Baru, hampir semua sumur minyak
di Indonesia telah dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang
merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex), Atlantic
Richfield (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya adalah
Pertamina, baru kemudian muncul belakangan para pengusaha swasta nasional
seperti Arifin Panigoro dengan Medco-nya, Tommy Soeharto dengan
Humpuss-nya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim, dan Astra International.20

Pada masa Pemerintahan SBY, kondisinya semakin liberal lagi. Jika pada
masa-masa sebelumnya Pertamina senantiasa memegang monopoli distribusi
minyak di dalam negeri, maka mulai November 2005 Pemerintah berencana
membuka keran investasi hilir di bidang migas kepada investor swasta dalam
negeri maupun asing. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo
Yusgiantoro, sudah ada 7 investor yang sudah menyatakan komitmen melakukan
investasi di sektor hilir migas tersebut.21

Jika Pemerintah benar-benar membuka keran liberalisasi di sektor hilir
migas, maka tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada yang memperoleh
fasilitas subsidi sebagaimana yang selama ini diterima oleh Pertamina.
Berarti subsidi BBM harus dicabut sampai 0 %. Dapat diprediksikan bahwa
harga BBM bakal naik lagi, namun dengan merek yang berbeda-beda. Paling
tidak, sudah siap 7 merek BBM dengan harga yang sama-sama mahalnya.

Bidang energi yang lain adalah batubara. Batubara menjadi sumber energi
terbesar kedua setelah minyak. Minyak memasok 34% dan batubara 23,5%
kebutuhan energi dunia. Hampir sepertiga cadangan batubara dunia ada di
kawasan Asia Pasifik. Di Indonesia jumlah sumberdaya batubara, termasuk
yang ditemukan produsen dan kontraktor kerjasama, sampai tahun 2001
mencapai 145,8 miliar ton.22

Produksi batubara Indonesia mayoritas dihasilkan oleh penambangan swasta.
Dari total produksi 100,625 juta ton pada tahun 2002, 96,6% dihasilkan oleh
penambang swasta.23

Pemain yang menonjol sampai tahun 2005 ini masih didominansi oleh kelompok
Bumi Resources Tbk. milik Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. Kelompok ini
masih sebagai penguasa pasar (sekitar 25% dengan ekspor 2003 mencapai 44
juta ton). Anak perusahaan kelompok ini adalah Kaltim Prima Coal dan
Arutmin Indonesia, Adaro Indonesia, Kideco Jaya Agung, Berau Coal dan
Indominco Mandiri. Perusahaan lain adalah PT Bukit Baiduri Enterprise,
menguasai 2.416.916 juta ton; PT Kitadin Corporation, menguasai 2.291.249
juta ton; PT Anugrah Bara Kaltim, menguasai 2.474.904 juta ton; dan
seterusnya.24

Dalam bidang pertambangan, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai
potensi tambang yang bagus. Khusus untuk tambang emas saja, secara geologis
di berbagai wilayah di Indonesia memiliki potensi emas yang besar.
Indonesia merupakan pertemuan deretan gunung berapi Sirkum Mediteran dengan
Sirkum Pasifik. Pergeseran lempengan bumi yang terjadi di masa lampau
akibat kegiatan vulkanis telah membentuk cebakan-cebakan emas.25

Dengan bagusnya potensi tambangnya ditambah aturan-aturan yang
menguntungkan, Indonesia mulai kedatangan investor asing untuk m enanamkan
modalnya, dimulai sejak tahun 1967. Perusahaan yang mengawalinya adalah PT
Freeport Indonesia (FI). Pada Kontrak Karya generasi I (KK I), FI mendapat
konsesi selama 30 tahun, boleh mengimpor semua peralatannya (tidak wajib
menggunakan produksi dalam negeri) dan Pemerintah Indonesia hampir tidak
mendapat kompensasi apapun.

Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan deposit emas yang sangat
besar di Grasberg, kemudian mengajukan pembaharuan KK dan bisa diperpanjang
dua kali 10 tahun. FI mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya.
Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan hanya tembaga.
Namun, menurut Econit, royalti yang diberikan FI ke Pemerintah tidak
berubah, hanya 1-3,5%, sehingga penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti
dan deviden FI hanya US$ 479 juta.26 Jumlah itu tentu masih sangat jauh
dibandingkan dengan pendapatan yang mampu dihasilkan FI yaitu sekitar US$
1,5 miliar (tahun 1996). Dari pendapatan itu 1% diambil untuk dana
pengembangan masyarakat Irian, yaitu sebesar US$ 15 juta.27

Pada zaman Reformasi nasib PT Freeport Indonesia semakin bersinar. Pada
tahun 2001, laba bersih yang dibukukan perusahaan ini mencapai US$ 304,2
juta. Pada tahun 2002 naik menjadi US$ 398,5 juta. Tahun berikutnya, 2003
laba bersihnya melonjak hingga US$ 484,9 juta. Yang mengherankan, dari laba
bersih sebesar itu, sesungguhnya yang dibagikan sebagai deviden hanya
15%-nya saja. Padahal Pemerintah sampai saat ini hanya memiliki saham
sebanyak 9,36%, sedangkan PT Freeport menguasai 90,64% (Kontan, 6 September
2004).

Dalam hal penguasaan pertambangan oleh pihak asing, menurut Tamagola
(Kompas, 14 Februari 2005), telah terjadi pengaplingan atas daerah-daerah
tambang di Indonesia. Kapling-kapling itu meliputi: Timika untuk Freeport,
Lhok Seumawe untuk Exxon Mobil, Sulawesi Selatan untuk Mosanto,
Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont International, Teluk Bintun di
Papua untuk British Petrolium, Kaltim untuk PT Kaltim Prima Coal, dsb.
Pengaplingan tersebut menunjukkan telah terjadi persekongkolan antara
penguasa dan kekuatan modal asing.28

2. Bobroknya lembaga keuangan dan masuknya Indonesia ke dalam jerat utang
(debt trap). Konsekuensi berikutnya dari sistem pasar bebas adalah adanya
liberalisasi di pasar uang yang berbasis bunga. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan
perbankan konvensional yang berbasis pada sistem bunga. Akibat krisis itu,
16 bank dilikuidasi Pemerintah, 51 bank lainnya dibekukan pada 1 November
1997, dan 13 bank diambil-alih (BTO).

Untuk merestrukturisasi bank-bank konvensional yang selama ini menjadi
sumber darah bagi perputaran roda perekonomian nasional, hingga Desember
2000 Pemerintah sudah mengeluarkan tidak kurang dari Rp 659 triliun.29

Aki batnya, utang Pemerintah yang sebelum krisis hanya US$ 55 miliar, kini
membengkak menjadi US$ 77 miliar (utang luar negeri) ditambah Rp 695
triliun (utang dalam negeri terutama dalam bentuk obligasi rekapitalisasi)
dalam waktu tidak sampai empat tahun terakhir. Utang sebesar itu membuat
rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai di atas 100
persen pada akhir 2000, yang akan mengakibatkan perekonomian Indonesia pada
10-25 tahun ke depan akan terus mengalami proses destabilisasi.

Untuk bunga obligasi rekapitalisasi saja Pemerintah harus mengeluarkan
sekitar empat persen dari PDB pada tahun 2000 dan 2001 ini. Kewajiban
obligasi yang jatuh tempo pada tahun 2001 sekitar Rp 12.9 triliun. Jumlah
ini akan terus meningkat setiap tahunnya, mencapai Rp 73.98 triliun pada
tahun 2007 dan Rp 138 triliun pada 2018. Biaya ini dibebankan pada APBN,
yang berarti rakyat juga yang menanggungnya. Beban bunga obligasi akan
semakin menj adi-jadi dengan terus naiknya suku bunga. Sukubunga Sertifikat
Bank Indonesia saat itu sudah mencapai 17.7%, naik dari sekitar 10% pada
Semester I tahun 2000 lalu. Padahal, setiap kenaikan sukubunga sebesar satu
persen, akan menyebabkan biaya bunga obligasi yang harus dibayar Pemerintah
naik Rp 2.2 triliun.

Buruknya kinerja sektor perbankan ini ternyata terus berlangsung hingga
saat ini. Sepanjang tahun 2004 saja sudah ada 4 bank ditutup, yaitu Bank
Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan Bank Persyarikatan Indonesia.
Akibat penutupan itu, Pemerintah tentu harus menanggung seluruh kerugian
nasabah. Biaya penanggungan itu lagi-lagi dibebankan kepada rakyat melalui
APBN. Hal itu belum ditambah dengan kasus pembobolan yang dilakukan oleh
sejumlah orang ke Bank BNI dan BRI yang nilainya mencapai miliaran, bahkan
triliunan rupiah.30

Sampai saat ini, tanggungan Pemerintah untuk dunia perbankan belum juga
susut. Tercatat 10 bank besar Indonesia masih menikmati obligasi
Pemerintah. Hal itu membuat APBN membayar bunganya sekitar Rp 60 triliun
setiap tahunnya. Sekali lagi, beban itu tetap harus kembali kepada rakyat
melalui pembayaran pajak.31
Di sisi lain, sesuai dengan 'petunjuk' IMF, bank-bank yang sudah mulai
sehat harus diprivatisasi mengikuti saudara-saudaranya yang lain di lingkup
BUMN. Contohnya, sebanyak 51% saham Pemerintah yang ada di bank besar
seperti BCA dan Bank Danamon harus dijual ke investor asing. Nasib yang
sama juga menimpa BUMN sehat lainnya seperti Indosat Tbk., Telkom Tbk.,
Wisma Nusantara Indonesia, Bukit Asam Tbk., Semen Gresik, Pelindo II, dll.32

3. Munculnya kesenjangan ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak
liberalistik yang paling menyakitkan adalah terjadinya kesenjangan ekonomi
yang luar biasa. Pada masa Orde Baru ketimpangan ekonomi sudah sangat
mencolok. Pada tahun 1993, omset dari 14 konglomerat Indon esia terbesar
yang tergabung dalam grup Praselya Mulya, di antaranya Om Liem (Salim
Group), Ciputra (Ciputra Group), Mochtar Riady (Lippo Group), Suhargo
Gondokusumo (Dharmala Group), Eka Tjipta (Sinar Mas Group) mencapai 47.2
triliun rupiah atau 83% APBN Indonesia tahun itu.33 Di sisi lain, jumlah
penduduk miskin sudah terhampar sedemikian besarnya. Menurut data BPS 1994,
dengan garis kemiskinan Rp 500 perhari, terdapat 28 juta rakyat miskin (2
juta di kota dan 26 juta di desa). Jika garis kemiskinan dinaikkan menjadi
Rp 1.000 perhari, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi sekitar 117 juta
jiwa atau 65% dari jumlah penduduk.34

Di era sekarang ini, keadaannya telah mengalami banyak perubahan ke arah
yang lebih mengkhawatirkan. Fenomena yang paling mencolok adalah terjadinya
kekuasaan menjadi kekuatan pengumpul modal.

Rachman, dalam tulisannya (Koran Tempo, 15/2/2005) mencoba menjajar
fenomena di atas dengan d ata yang rapi, contohnya adalah: Yusuf Kalla (Grup
Bukaka, Ketum Partai Golkar, Wapres RI); Agung Laksono (Grup Hasmuda, Ketua
DPR, Waket Partai Golkar); Aburizal Bakrie (Grup Bakrie dan Bumi Resources,
Menko Perekonomian, penyantun Freedom Institute); Surya Paloh (Grup
Media/Metro TV, Ketua Penasehat Golkar); Fahmi Idris (Grup Kodel, Ketua
Partai Golkar, Menakertrans) dll. Itulah sebabnya, kebijakan Pemerintah
dalam pengembangan proyek lebih banyak untuk memenuhi kepentingan orang
kaya ketimbang rakyat miskin. Sebagai contoh, dalam pengembangan proyek
infrastruktur yang kini sedang gencar dilakukan, dari 91 proyek yang
ditawarkan pada tahap pertama tahun 2005 nilainya sudah mencapai US$ 22.5
miliar atau setara dengan Rp 202.5 triliun.35

Itulah beberapa fakta 'menyakitkan' akibat diterapkannya ekonomi
neo-liberalisme, khususnya di Indonesia. Akankah kita diam saja menyaksikan
semua kezaliman ini?!

Penulis adalah aktifis Hizbut Tahrir Indonesia, kandidat Doktor ekonomi
Universitas Kebangsaan Malaysia.

Catatan Kaki
1 Lihat: Setyo Budiantoro, "Mewaspadai Kapitalisme Global," www.republika.com
2 Baca: Koran Tempo, Sabtu 19 Maret 2005.
3 Republika, Senin 14 Maret 2005.
4 Setyo Budiantoro, op. cit.
5 Penjelasan lebih rinci dapat dibaca: Deliarnov, 1997, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi, Rajawali Press, Jakarta.
6 Boediono, 1999, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro, BPFE, Yogyakarta.
7 Deliarnov, op. cit.
8 Baca: Budi Winarso, 2004, Globalisasi Wujud Imperialisme Baru - Peran
Negara Dalam Pembangunan. Tajidu Press, Yogyakarta.
9 Ibid.
10 Setyo Budiantoro, op. cit.
11 Budi Winarso, op. cit.
12 Tulus Tambunan, 1998, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.
13 Didik J. Rachbini, Republika, 27 Juni 2001
14 Ibid.
15 Triono, D. C., Makalah Seminar Setengah Hari denga n tema, "Dilema
Pembangunan Bidang Keteknikan Dalam Krisis Perekonomian Indonesia,"
Fakultas Teknik Universitas Janabadra Yogyakarta. Tanggal 15 Agustus 2001.
16 Eksekutif, Desember 2004, "Emas Hijau di Ujung Waktu," No. 304.
17 Warta Ekonomi, 10 Agustus 1998, "Menggebuk Raja - raja Kayu," No. 12,
Tahun X.
18 Eksekutif, op. cit.
19 Eksekutif, Desember 2004, "Merajut Kembali Masa Depan Industri
Perkayuan," No. 304.
20 SWA Sembada, 18 April - 8 Mei 1996, "Calon-calon Raja Minyak Indonesia,"
No. 06, Tahun XII.
21 CEO, Februari 2005, "Pertamina Hadapi Pesaing," No. 5, Tahun I.
22 Eksekutif, Januari 2005, "Batubara si Primadona Baru," No. 305.
23 Ibid.
24 Ibid.
25 SWA Sembada, 19 Juni-2 Juli 1997, "Emas dan Permainan Kotor," No. 11,
Tahun XIII.
26 Ibid.
27 Gatra, 24 Oktober 1998, "Ginandjar Disodok Kasus Freeport," No. 49,
Tahun IV.
28 Ibid.
29 Kompas, 29 Juli 2001.
30 Eko Prasetyo, op. cit.
31 Forum Ke adilan, 14 November 2004.
32 Warta Bisnis, Januari 2003, "Dari Singapura ke Mauritus," No. 01, Tahun I.
33 Republika, 15 Januari 1993.
34 Faisal Basri, 1995, Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI, Erlangga,
Jakarta, Cet. II
35 Eko Prasetyo, op. cit.

Tidak ada komentar: